Sadarsibarani’s Weblog

October 17, 2008

LELUHUR PUAK TOBA

Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 7:03 am
Tags: , ,

Dari data di atas, tampak bahwa Tatea Bulan maupun Sumba tidak lahir dari ayah dan ibu yang sama. Walaupun dalam tarombo dikatakan mereka berdua adalah putera raja Batak, pendapat itu hanyalah simbol persatuan dan kesatauan orang Batak. Keturunan Sumba yang sering dipanggil dengan keturunan Nai Sumbaon memperkuat dugaan itu. Tercatat kemudian bahwa Tatea Bulan kawin dengan seorang wanita, yang menurut Mangaraja Salomo Pasaribu, adalah keturunan pengembara yang tinggal di sekitar tempat tersebut. Dari perkawinannya dengan wanita ini, Tatea Bulan memperoleh lima orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Anak laki-laki tersebut berturut-turut adalah Miok-Miok atau Gumeleng-geleng, Saribu Raja, Limbong, Sagala dan Lauraja dan kedua anak perempuan tersebut adalah Siboru Pareme dan Nantinjo.

1. Utiraja dengan Gelar Raja Hatorusan

Sebagaimana ditulis oleh Mangaraja Salomo Pasaribu dalam bukunya Tarombo ni Borbor Marsada, setelah menetap di kaki Dolok Pusuk Buhit, Tatea Bulan memilih seorang wanita yang ditemuinya di sekitar perkampungan itu untuk dijadikan sebagai isterinya. Karena wanita tersebut masih tergolong nomaden (pengembara), dia meminta Tatea bersumpah untuk tidak menyia-nyiakan hidupnya kelak. Menurut Mangaraja Salomo, sumpah (bulan) inilah yang menyebabkan nama Tatea diimbuhi nama Bulan di ujung namanya.   Dari perkawinannya, masih menurut Mangaraja Salomo, lahir beberapa orang  putera. Anak yang pertama lahir dalam bentuk segumpal daging, dengan mempunyai kepala, mata, telinga, dan mulut, tetapi tidak mempunyai kaki     dan tangan. Namun demikian, setelah besar, anak tersebut ternyata sangat pintar. Karena bentuk tubuhnya yang aneh itu, dia diberi nama sesuai dengannya: Miok-Miok atau Gumeleng-geleng. Konon, anak yang kedua dan ketiga terlahir dengan kembar dampit: seorang pria yang diberi nama Saribu Raja dan seorang wanita yang diberi nama Siboru Pareme. Menyusul    kemudian lahir tiga orang putera, yaitu Limbong, Sagala dan Malau dan  seorang lagi puterinya yang diberi nama Nantinjo. Masih menurut Mangaraja Salomo, karena bentuk tubuhnya yang aneh, Gumeleng-geleng meminta   kepada ibunya agar dia diantarkan ke puncak Dolok Pusuk Buhit. Di tempat    ini dia bertemu dengan Mulajadi Nabolon dan dia pun meminta kepadanya  agar tubuhnya dilengkapi dengan kaki dan tangan, sebagaimana manusia normal pada umumnya. Keinginannya dikabulkan. Akhirnya, dia diberi kaki dan tangan, tetapi anehnya bentuk tubuhnya berubah menyerupai ilik (kadal). Hal yang lebih aneh lagi ialah bahwa dia diberi sepasang sayap dan, katanya, mulutnya tampak seperti moncong babi.

Gumeleng-geleng merasa sangat sedih dengan bentuk tubuhnya yang     baru ini. Dengan menangis, dia kemudian memohon kepada Mulajadi     Nabolon agar bentuk tubuhnya diubah seperti manusia biasa. Akan tetapi,      apa jawab Mulajadi Nabolon? “Saya sengaja berbuat demikian agar engkau tidak bergaul dengan manusia yang penuh dosa karena hanya engkaulah yang dijadikan sebagai perantara sembah (hatorusan ni somba) kepada-Ku,” demikian dikatakan Mulajadi Nabolon. Sejak itulah nama Gumeleng-geleng memperoleh             nama baru Raja Hatorusan, demikian menurut Mangaraja Salomo.

Karena bentuk tubuhnya yang tidak lazim ini, Miok-miok pun   menyandang beberapa nama panggilan baru. Selain Raja Hatorusan, dia juga diberi nama Raja Biak-Biak, Raja Ilik. Konon, karena merasa malu dengan  bentuk tubuhnya yang aneh itu, Gumeleng-geleng pergi ke Barus ke sebuah tempat bernama Uti dan memilih tinggal disana. Kampung Uti, dekat Sungai Simpang Kiri dan sejak itu pula, Gumeleng-geleng juga dikenal dengan nama Raja Uti. Melihat nama dan gelarnya yang begitu banyak, pastilah manusia ini seorang yang begitu luar biasa. Inilah cerita yang berkembang dikalangan   orang Batak khususnya  keturunan Borbor, sebagaimana dikisahkan M.     Salomo dalam bukunya.

 Ada cerita lain, dengan versi yang berbeda, yang berkembang di kalangan keturunan Tuan Sori Mangaraja. Cerita ini baru berkisar dari mulut ke mulut dan belum pernah dipublikasikan. Utiraja adalah anak sulung Tatea      Bulan.Dia adalah seorang pemuda yang tampan, pintar, dan digdaya. Karena kedigdayaannya ini, dia sering berkelana ke tempat yang jauh untuk menimba berbagai ilmu dan pengalaman. Sebagai anak sulung, Tatea Bulan menaruh harapan besar di pundak Utiraja untuk kelak memimpin keturunannya menjadi puak yang disegani. Dalam pengembaraannya, Utiraja pernah melanglang sampai ke Barus. Di tempat ini, dia mendengar banyak cerita tentang perang yang menghancurkan raja orang Batak yang, kalaupun ada yang tersisa, sekarang hidup entah di mana. Utiraja mendengar cerita-cerita sekitar perang ini dengan cermat. Cerita ini dihubungkan dengan keberadaan keluarganya yang ada di Dolok Pusuk Buhit dan sejumlah barang pusaka yang ada di tangan ibu Nai Sumbaon.

Dalam benaknya timbul pertanyaan: Bukankah cerita tentang Raja Batak itu adalah cerita tentang keluarga kami yang sekarang ada di Dolok Pusuk Buhit?  Hal ini pernah dia tanyakan kepada ayahnya Tatea Bulan. Akan tetapi, Tatea Bulan marah besar karena peristiwa ini telah menjadi trauma bagi dirinya. Kalau kisah ini diungkit-ungkit, hal itu akan membawa akibat yang tidak baik untuk keturunannya kelak. Tidak demikian dengan Uti. Sebagai pemuda yang digdaya, dia ingin mengembalikan masa kejayaan leluhurnya. Akan tetapi, dengan mengaku sebagai keturunan Tuan Sori Mangaraja, tanpa bukti, dapat saja dia akan menjadi bahan tertawaan. Jalan satu-satunya ialah dengan cara memberi bukti berupa barang-barang pusaka yang ada ditangan Nai Sumbaon. Utiraja paham benar bahwa memintanya dengan baik-baik adalah sesuatu yang tidak mungkin karena permintaannya ini akan ditentang ayahandanya yang terikat oleh sumpah kepada Raja Sori Mangaraja. Jalan satu-satunya ialah mengambilnya dengan diam-diam. Pada suatu malam yang gelap, barang-barang pusaka tersebut berpindah tangan dan dengan cepat pula Utiraja berangkat ke Barus. Sebelum pergi ke Barus, dia lebih dahulu bermukim di suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai Kampung Uti, sesuai dengan namanya. Dari tempat inilah dia mulai memobilisasi kekuatan untuk mengusir orang-orang Aceh dari Barus.

Tentu saja akan timbul petanyaan: Apakah dia dapat mengusirnya dengan begitu mudah? Dengan bantuan sultan Turki, Aceh menjadi kesultanan yang besar dan sangat terkenal. Pasukan Aceh bukan saja menaklukkan Tanah Batak, tetapi juga Kesultanan Deli, Kesultanan Siak dan Indragiri hingga ke Pagaruyung. Mereka juga membuka bandar di Aceh Besar. Para pedagang Eropa lebih suka berdagang langsung di sana karena, di samping jarak tempuhnya yang lebih dekat, juga mereka dapat beristirahat di Pulau Sabang, sekaligus mengisi air minum.

Akan tetapi, sepeninggal Sultan Alaudin Ri’ayatsyah, para penggantinya semua memerintah dengan tidak becus. Misalnya, Sultan Salahuddin yang menggantikannya terpaksa dimakzulkan dan digantikan oleh adiknya Sultan Alimuddin. Kebesaran Kesultanan Aceh mulai memudar setelah Sultan Ri’ayatsyah II,  mencoba untuk mengusir bangsa Portugis dari Malaka. Upaya pengusiran Portugis ini dilakukan berkali-kali dan menguras harta kekayaan sultan. Tetapi sayangnya, walaupun pernah mereka menghancurkan armada Portugis di Selat Malaka, Portugis masih bertahan dengan kokoh dan kuat. Perang melawan Portugis ini menyebabkan Kesultanan Aceh, bangkrut.

Pengganti-pengganti Alauddin Ri’ayatsyah II juga sama, tidak berhasil mengembalikan masa kejayaan pendahulunya. Mereka lebih sibuk mengurus diri sendiri, menikmati hasil kekayaan yang ditumpuk semasa kejayaan leluhurnya. Mereka saling berebut kekuasaan dan saling menjatuhkan. Beberapa generasi setelah Sultan Alaudin Ri’ayatsyah II, hampir seluruhnya mati terbunuh atau, kalau tidak, mati karena diracun.

Dalam gonjang-ganjing seperti ini, Barus akhirnya tidak terurus. Perahu-perahu dagang juga hanya tinggal sedikit singgah di sana. Barus kebanyakan didatangi oleh pedagang lokal dari Minangkabau yang menjadi pengepul di sana. Komoditas yang dikumpulkan mereka bawa ke bandar di Aceh untuk diperdagangkan. Dalam keadaan seperti ini, Utiraja mulai memobilisasi kekuatan rakyat dengan mengaku sebagai penerus Raja Sori Mangaraja dan menabalkan diri sebagai raja dengan gelar Raja Hatorusan, yang dapat    diartikan sebagai penerus (hatorusan) Raja Sori Mangaraja. Barang pusaka yang diambil secara tidak sah dijadikan sebagai bukti bahwa dia adalah ahli waris Raja Sori Mangaraja. Mereka yang masih menginginkan masa kejayaan Raja Sori Mangaraja percaya dengan bukti tersebut.

Untuk meyakinkan, bahwa R. Uti adalah pelanjut kerajaan Raja Sori Mangaraja (pewaris barang-barang pusaka tersebut)  dibangun pula satu cerita berbentuk hikayat,  yang  diketahui  sangat luas  oleh penduduk Barus  hingga saat ini. Ini adalah penggalan dari hikayat berikut:

Bermula di hikayatkan suatu raja dalam negeri Tobah silalahi lua Baligi Parsoluhan suku Pohan. Adapun itu raja namanya Raja Kesaktian beranakkan lima orang laki-laki yang tuha bernama Mage di Pohan, yang kedua bernama Lahi Sabungan, yang ketiga bernama Raja Tumbu Padi, yang kaampat bernama Raja Pahit Tuha yang kelima bernama Raja Alang Sabatangan Pardoksi. Adapun satu masa itu Raja Kesaktian barale. Dalam pada itu masa maka disuruhnya anak bernama Alang Pardoksi  mencari minyak jujungan maka itu Alang Pardoksi pergi ka negeri Asahan di sebelah timur. Sepeninggal Alang Pardoksi mencari minyak itu Raja Kesaktian mulai juga barale….

Cerita  ini, persis sama dengan cerita berpisahnya putera Tuan Sorba Dibanua yaitu Pohan dengan ketiga adiknya, Paittua, Sabungan dan Oloan. Akan tetapi dalam turunan Tuan Sorba Dibanua yang dalam kronik disebut Raja Kesaktian, tidak ada nama Raja Tumbu Padi apalagi Raja Alang Sabatangan Pardoksi yang kemudian memisahkan diri. Berat dugaan cerita ini dipoles demikian rupa, agar turunan Raja Uti tetap diakui sebagai salah seorang pewaris barang-barang pusaka tersebut yang dia gunakan sebagai bukti bahwa mereka juga adalah pewaris sah dari  Raja Sori Mangaraja. Ikatan kekeluargaan tersebut semakin diperkuat dengan cerita lain,  masih dalam hikayat tersebut:

Alkisah maka tersebutlah perkata’ an kepada raja di Lua’ Simamora negeri Dolo’ Sanggul kampung bernama Lumban Si Tupang sukunya Simamora. Adapun itu raja bernama Tuan Mirhim, dia ada beranak tujuh orang anak laki-laki yang kecil bernama Si Namora. Si Namora itu tidak beranak yang lain-lain saudaranya suda beranak masing-masing. Dengan takdir Allah pada suatu hari maka berkelahi perempuannya dengan perempuan saudaranya sebab dari lulu diatas rumah kenai kaki itu perempuan saudaranya. Maka itu perempuan yang kenai lulu itu bertanya kepada lain perempuan katanya “ini tahi siapa disini sudah kenai aku punya kaki, mengapa tidak dibuang?“ katanya. Dalam pada itu maka menyahut perempuan yang lain dari saudaranya juga perempuan katanya: “Siapa mahu buang bukan kami punya anak yang bikin kotor disitu, kalau siapa punya anak yang bikin kotor suruh dia buang ….”

Cerita tentang Toga Simamora yang mempunyai dua orang isteri¾yang karena sering bertikai menyebabkan Toga Simamora pindah ke Barus dan kawin lagi dengan puteri Alang Pardoksi¾dapat dibaca dalam buku Tarombo Batak, karya Wasinton Hutagalung. Cerita perkawinan Simamora versi Barus ini, perlu diteliti kebenarannya karena dikatakan putera-putera Simamora dari isterinya yang ketiga yaitu puteri Datu Alang Pardoksi nama-nama mereka persis sama dengan nama-nama putera dari isterinya yang kedua.

Menjadi pertanyaan apa tujuan dari pengaburan silsilah tersebut ? Tujuan yang utama jelas, ialah tentang kepemilikan barang pusaka. Seperti telah kita kemukakan didepan,  Tatea telah lebih dahulu disumpah untuk melindungi Sumba dan ibunya dan begitu pula barang-barang pusaka milik kerajaan. Akan tetapi siapa sangka barang pusaka tersebut, justru dicuri oleh anaknya sendiri.  Tidak mau di cap sebagai pencuri R.Uti  merekayasa satu kronik silsilah dengan mana dia  ingin pengakuan, bahwa barang pusaka yang ada ditangannya adalah haknya juga.

 Namun, R. Uti rupanya tetap memberikan pesan kepada keturunannya apabila satu waktu, ada orang  meminta pengembalian barang pusaka tersebut supaya diberikan. Raja Uti menyadari bahwa barang pusaka itu bukanlah  haknya  dan  oleh karenanya harus dikembalikan kepada yang berhak. Artinya walaupun kronik silsilah tersebut diatas  di rekayasa demikian rupa R. Uti tetap berpesan, yang  hak tetap hak, yang tidak hak, harus dikembalikan kepada yang berhak. Itulah yang terjadi waktu Manghuntal Sinambela, meminta pengembalian barang pusaka tersebut. Untuk menutupi cerita aslinya, Mangaraja Salomo dalam bukunya TAROMBO NI BORBOR MARSADA membuat satu cerita yang lebih tidak masuk akal sebagai berikut:

Menurut Mangaraja Salomo, barang-pusaka itu dikembalikan setelah melewati adu kepintaran. Raja Manghuntal dapat memenuhi seluruh permintan Raja Uti. Permintaannya adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan merupakan ujian bagi Manghuntal. Permintaan Raja Uti tersebut, menurut Mangaraja Salomo, antara lain adalah:

Sada horbo tunggal sihalung jala na marngingi di ginjang, sada bulung ni ri,  nasa bidang ni bulung gaol, sada pungga na marimbulu, sada lote na morlai-lai, sada tali rihit, sada jolma na marsaongkon pinggol na jala na marsabe-sabehon susu na.

 (Satu ekor kerbau jantan yang mempunyai gigi di atas, satu lembar daun ilalang yang daunnya selebar daun pisang, satu batu asah berbulu, seekor burung puyuh yang mempunyai jengger seperti ayam jantan, seutas tali yang terbuat dari pasir, dan seorang manusia yang mempunyai telinga yang dapat dijadikan sebagai tutup kepala dan mempunyai susu yang dapat dihadang di bahu).

Permintaan tersebut jelas terlihat serba tidak masuk akal. Konon, menurut Mangaraja Salomo, permintaan itu ternyata dapat dipenuhi sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak memberikan barang pusaka tersebut. Cerita-cerita seperti inilah yang dikembangkan dengan maksud, agar pengusaan tanpa hak (dicuri) atas barang pusaka tersebut dapat ditutupi. Dan yang lebih penting lagi, tokoh Raja Uti sebagai tokoh mistis, dapat hidup terus dikalangan turunan Gr Tatea Bulan.

 Suatu tulisan lain menyinggung pengembalian barang pusaka ini dimuat dalam Majalah L.K.I. No. 38, yang ditulis oleh van Dijk. Dikatakan bahwa kedatangan Raja Manghuntal Sinambela ke Barus adalah kunjungan kepada Sultan Aceh. Sultan Aceh, menurut van Dijk, memberikan kepada Raja Si Singamangaraja seekor gajah sebagai tunggangan dan alat-alat kebesaran kerajaan, berupa sebilah tombak, sebilah pedang Jonan Pohan, sebilah keris gaja dompak dan sehelai tikar kaomasan. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa pemberian barang pusaka itu adalah bukti ikatan antara Raja Aceh dan Raja Batak. Apa pun versinya, jelaslah bahwa kedatangan Raja Manghuntal  ke Barus adalah untuk menuntut hak milik leluhurnya. Dan dengan penemuan barang pusaka tersebut, tidak ada lagi alasan untuk turunan Tuan Sori Mangaraja menolak Manghuntal sebagai raja, karena begitulah pesan leluhur mereka “Siapa pun yang menemukan barang pusaka tersebut harus diakui sebagai raja”.

Atas keberhasilannya itulah, Manghuntal Sinambela mau tidak mau “terpaksa” diakui oleh turunan Bagot ni Pohan sebagai raja, anggi di partubu, haha di harajaon,  dan kepadanya diberi gelar Raja Si Singamangaraja.  

Di antara  barang pusaka yang pernah dimiliki, di samping stempel, yang tersisa hanyalah satu, yaitu keris gaja dompak, yang sekarang tersimpan di Museum Nasional di Jakarta. Keris itu diserahkan oleh Kapten Christoffel kepada Gubernur Jenderal Van Heutz di Istana Bogor sebagai bukti bahwa  Raja Si Singamangaraja XII telah tewas.

 

2. Saribu Raja

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Saribu Raja adalah putera kedua Tatea Bulan. Dia lahir kembar dampit dengan seorang puteri yang bernama Siboru Pareme. Sebagai anak yang lahir kembar, dapat dimaklumi hubungan keduanya sangat dekat. Biasanya, untuk menjaga hal-hal yang tidak dikehendaki, anak yang terlahir kembar dampit selalu dipisahkan sejak dini. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan pada keduanya. Mereka tumbuh dan menjadi besar secara bersama-sama dan hal ini menyebabkan hubungan keduanya terjalin dengan begitu akrab.

Setelah Utiraja meninggalkan kampung Sianjur Mula-mula, harapan orang tuanya kemudian tertumpu pada Saribu Raja. Dari segi kedigdayaan dan ketampanan, sebenarnya Saribu Raja memiliki syarat yang mencukupi untuk menggantikan ayahandanya Tatea Bulan. Juga, ketekunannya mempelajari hadatuon (ilmu perdukunan) menyebabkan Saribu Raja diyakini akan dapat memimpin adiknya mengembalikan masa kejayaan nenek moyangnya kelak. Hanya saja, ada sesuatu yang kurang berkenan di hati orang tuanya, yaitu hubungannya yang terlalu dekat dengan adiknya Siboru Pareme.

Rasa khawatir inilah yang mendorong Tatea Bulan cepat-cepat mencari jodoh bagi Saribu Raja, dengan maksud agar Saribu Raja dapat dipisahkan dengan Siboru Pareme. Akhirnya, Saribu Raja dikawinkan dengan seorang wanita yang masih merupakan penduduk di sekitar itu juga, yang bernama Nai Margiring Laut. Sejak mereka dikawinkan, mereka berdua diberi lahan baru (dipajae) di suatu kampung yang diberi nama Parik Sabungan. Di tempat inilah Saribu Raja bermukim.

Menghadapi kenyataan ini, Siboru Pareme merasa diperlakukan tidak adil. Menurutnya, sebagai seorang wanita, dirinyalah yang pantas dicarikan jodoh, bukan Saribu Raja. Hal ini dianggap wajar karena, dengan melihat situasi kampung yang terisolir itu, dia tidak akan mungkin mendapatkan jodoh. Sebaliknya, karena Saribu Raja adalah seorang laki-laki, dia dapat saja pergi ke tempat lain untuk mencari jodohnya. Karena itu, Siboru Pareme berkesimpulan bahwa perkawinan Saribu Raja adalah rekayasa untuk memisahkan dirinya dari abangnya. Sementara itu, dia tahu persis bahwa abangnya sebenarnya merasa cukup sayang kepadanya dan tidak ingin berpisah. Perlakuan yang tidak adil ini mendorong Siboru Pareme menggoda abangnya sendiri sehingga apa yang tidak diharapkan pun terjadi.

  Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Bona Pinasa yang kemudian dibantah oleh Sutan Habiaran Siregar dengan menulis buku kecil dengan judul Kisah Tuan Saribu Raja dan Si Boru Pareme, yang diterbitkan di Medan pada tahun 1994. Dalam tulisannya, Sutan Habiaran Siregar tidak membantah substansi persoalannya, melainkan hanya karena penulis bukan merupakan keturunan Raja Lontung sehingga dianggap tidak “kompeten” untuk menulis hal-hal yang menyangkut Siboru Pareme. Menurut versi Sutan Habiaran, Siboru Pareme tercium minyak sinyongnyong (dorma) Saribu Raja, yang menyebabkan dirinya jatuh cinta pada abangnya. Hal ini mengakibatkan mereka berdua mengadakan hubungan tercela. Apa pun penyebabnya, hubungan terlarang itu jelas terjadi.

  Cerita tentang anak kembar dampit banyak dikenal dalam cerita rakyat Batak, antara lain cerita tentang tunggal panaluan yang bermula dari dua orang bersaudara, Siaji Donda Hatahutan dan saudara kembarnya Siboru Tapi Nauason. Keduanya melakukan hubungan terlarang di bawah sebatang pohon kayu yang lalu menelan mereka. Kayu inilah yang kemudian diukir menjadi tongkat yang dikenal sekarang sebagai tongkat tunggal panaluan. Cerita seram lainnya tentang hubungan terlarang ini adalah kisah Siboru Naitang yang begitu tega membunuh suaminya karena dia lebih mencintai abangnya sendiri Inar Naiborngin. Cerita tentang Siboru Naitang ini, konon, melahirkan tali persaudaraan antara Naibaho dan Sihombing Lumbantoruan hingga saat ini.

  Jelaslah bahwa hubungan cinta yang dapat menjurus ke perbuatan tercela (kawin sumbang) antara dua anak kembar dampit dapat saja terjadi tanpa minyak sinyongnyong, seperti yang dilansir oleh Sutan Habiaran. Hubungan seperti ini umumnya terjadi karena kedekatan kedua anak yang berbeda jenis kelamin tersebut. Lama-kelamaan, kedekatan ini berkembang begitu dalam hingga menghapus rasa malu yang timbul karena melanggar aturan-aturan adat yang telah digariskan para leluhur. Kejadian seperti ini tidak terkecuali bagi Saribu Raja dan Siboru Pareme.

Akibat perbuatan tercela tersebut, Siboru Pareme kemudian hari berbadan dua. Hal ini menyebabkan ketiga adik laki-laki Saribu Raja lainnya¾ Limbong, Sagala dan Lauraja¾sangat marah. Bagi pelaku seperti ini hukumannnya adalah bunuh. Akan tetapi, membunuh Saribu Raja bukanlah urusan mudah. Selain karena mereka masih terikat oleh hubungan darah, kedigdayaan Saribu Raja juga perlu diperhitungkan. Sementara mereka menyusun cara untuk melakukan pembunuhan tersebut, rencana itu dibocorkan oleh anak bungsu Lauraja. Pembocoran rencana ini sempat mengakibatkan hubungan ketiga bersaudara ini menjadi renggang. Saribu Raja sadar akan kesalahannya. Melakukan perlawanan tentu saja bukanlah tindakan yang bijaksana. Satu-satunya jalan ialah melarikan diri dan menjauh dari amarah saudara-saudaranya. Sebelum melarikan diri, dia membenahi barang-barang pusaka yang menjadi milik keluarganya. Dengan diam-diam, benda-benda tersebut disimpan di suatu liang batu (batu hobon).

Sebetulnya, hilangnya barang pusaka Tatea Bulan inilah yang mendorong ketiga bersaudara itu mengucilkan Siboru Pareme ke hutan. Mereka mengharapkan bahwa suatu saat Saribu Raja akan datang untuk menjenguknya. Mereka sepakat menangkap Saribu Raja untuk ditanyakan tentang keberadaan barang-barang pusaka keluarga tersebut. Akan tetapi, Saribu Raja telah lebih dulu raib bagaikan ditelan bumi. Menurut versi Mangaraja Salomo, dalam masa berkelananya, Saribu Raja masih sempat kawin dengan beberapa orang wanita, yang antara lain mengambil bentuk dalam wujud seekor harimau belang dan dalam wujud seekor beruk (bodat simumbol-umbol). Namun, yang pasti ialah bahwa Saribu Raja berangkat ke Barus untuk menemui abangnya Raja Uti. Marga Tanjung, yang sekarang ada di Barus dan Tapanuli Tengah, adalah salah satu keturunan Saribu Raja.

3. Iborboran

Nai Margiring Laut, isteri pertama Saribu Raja, ditinggalkan dalam keadaan hamil tua dan tanpa pesan. Lama ditunggu-tunggu, Saribu Raja tidak kunjung muncul. Hal ini menyebabkan rasa khawatir timbul dalam diri Nai Margiring Laut tentang masa depan anak yang ada dalam kandungannya. Tatea Bulan dapat memaklumi apa yang tersirat dalam batin menantunya. Karena itu, Tatea Bulan memanggil ketiga anaknya¾Limbong, Sagala dan Lauraja. Tatea Bulan menyampaikan masalah ini kepada anak-anaknya dan meminta pendapat mereka. Ketiganya sepakat,  apabila anak yang lahir tersebut adalah anak laki-laki, haknya sebagai anak sulung (raja ijolo) tetap akan diakui. Tatea begitu terharu atas ketulusan anak-anaknya.

 Setelah setuju dengan kesepakatan itu, Tatea Bulan mambuhul ari (melihat hari yang baik) kapan mereka akan menyelenggarakan pesta (ritus agamis) yang dimaksudkan untuk mengukuhkan perjanjian tersebut. Tatea Bulan memimpin upacara itu secara langsung. Dengan kata-kata mantra (tonggo-tonggo), Tatea Bulan memohon Mulajadi Nabolon untuk memberkati orang-orang yang berjanji tersebut. Kemudian, secara simbolis, Tatea Bulan menyerahkan suatu tombak yang bernama hujur siringis, sebagai simbol persatuan dan kesatuan keturunan Tatea Bulan, kepada anak yang ada dalam kandungan Nai Margiring Laut. Setelah diserahkan, ogung (gendang) pun dipukul bertalu-talu. Tanpa disangka-sangka, petir dan kilat sambar-menyambar dan hujan pun turun bagaikan dicurahkan dari langit. Mereka terus manortor (menari) tanpa menghiraukan badan mereka yang telah basah kuyub. Mereka gembira, yakin doa mereka didengar Mulajadi Nabolon.

Selesai menari, mereka bersama-sama masuk rumah dan, tidak lama kemudian, dari rahim Nai Margiring Laut lahir anak laki-laki yang kemudian diberi nama Iborboran. Nama Iborboran dipilih karena kelahiran anak tersebut bertautan dengan kejadian pada waktu itu ketika mereka diborbor udan (diguyur hujan yang sangat lebat). Padan (perjanjian) itu sampai saat ini mengikat erat keturunan Saribu Raja dengan keturunan Limbong, Sagala, dan Lauraja, dan mereka bersatu dalam kelompok yang diberi nama Borbor Morsada (Persatuan Borbor).

4. Limbong, Sagala dan Lauraja

Ketiga bersaudara ini, yang juga merupakan anak Guru Tatea Bulan dan adik Utiraja dan Saribu Raja, tidak menorehkan kisah yang berliku-liku. Tidak banyak cerita dapat diungkapkan tentang mereka, kecuali bahwa kepindahan Lauraja dari Sianjur Mula-mula terjadi karena ketidakserasian hubungannya dengan kedua abangnya. Lauraja dicurigai sebagai orang yang membocorkan rencana pembunuhan Saribu Raja sehingga abang mereka yang telah melakukan kesalahan besar dengan mengawini kakak perempuan mereka keburu menyelamatkan diri.

Setelah Utiraja dan Saribu Raja meninggalkan Sianjur Mula-mula, Limbong sebagai anak sulung yang tersisa kemudian mengambil-alih kepemimpinan. Upacara-upacara persembahan kepada Ompu Namartua Dolok Pusuk Buhit selanjutnya diselenggarakan dengan dipimpin keturunan marga Limbong dengan gelar Jonggi Manaor. Gelar yang diberikan hanya terbatas di situ karena, sesuai dengan kesepakatan, gelar raja ijolo adalah hak keturunan Iborboran. Walaupun hanya berstatus paidua (nomor dua), Jonggi Manaor banyak melaksanakan tugas-tugas raja ijolo karena keturunan Iborboran sejak dulu sudah meninggalkan Sianjur Mula-mula. Hal ini terjadi karena pertikaian di antara sesama mereka yang sulit didamaikan. Pertikaian ini telah berlangsung selama beberapa dekade.

5. Siboru Pareme dan Lontung

Menghilangnya Saribu Raja mendorong saudara-saudaranya untuk mengucilkan Siboru Pareme ke dalam hutan. Motif pengucilan ini sebenarnya adalah untuk menangkap Saribu Raja. Tidak sedikit pun terlintas dalam benak mereka untuk membuang Siboru Pareme karena bagaimanapun Siboru Pareme adalah saudara mereka juga. Itulah sebabnya mengapa Siboru Pareme hanya dimodali sedikit makanan dan sebilah pisau kecil. Juga, sebuah gubuk telah didirikan sebelumnya sebagai tempat tinggalnya.

Sewaktu Tatea Bulan mengadakan pesta pengukuhan padan tentang kedudukan Iborboran sebagai raja ijolo dan mereka sedang bergembira ria di bawah guyuran hujan lebat, mereka sedikit pun tidak teringat bahwa nun jauh di sana, di kegelapan hutan, seorang ibu sedang menangis tersedu-sedu. Pohon-pohon bertumbangan dan gubuk yang menjadi tempat tinggalnya hancur berantakan diterjang badai, seolah-olah badai tersebut tidak berbelaskasihan kepada ibu yang sedang hamil itu. Badannya basah kuyub dan mengigil sambil menahan rasa dingin.

Dia pun menangis tersedu-sedu dan meratapi nasibnya tanpa ada yang mendengar, “Ai ahu on ma da Ompung marsulu-sulu bintang, marrongkaphon antaladan,  ai anggo na lilu di sirpang, adong do panungkunan dalan, alai beha ma i, on ma huroha bagian ni sibaran.  Syair ratap-tangis ini adalah keluhan seorang ibu yang menyesali takdirnya di kegelapan malam, yang bertanya kepada Tuhannya apakah dia telah salah langkah. Dia tersedu-sedu dalam kesendiriannya di hutan pada malam yang gelap dengan hanya diterangi kerlap-kerlip bintang nun jauh di atas langit sambil merenungi nasibnya tanpa mengetahui apa kesalahannya.

Begitu bangun pagi-pagi, kala matahari sedang naik, Siboru Pareme pergi menuju suatu mata air untuk membersihkan diri. Di tengah jalan, dia melihat seekor harimau yang kakinya terjepit di bawah sebatang pohon yang tumbang. Angin-badai malam itu rupanya menimbulkan petaka lain. Harimau itu mungkin berteduh di bawah sebatang pohon yang tiba-tiba tumbang. Harimau itu mencoba untuk melarikan diri, tetapi sayangnya ekor dan tubuh belakangnya tertimpa pohon, yang menyebabkan kakinya terjepit.  Berbagai upaya telah dilakukan hingga harimau itu kehabisan tenaga, namun kakinya tetap saja tidak pernah terlepas.

Raungan harimau dengan pandangan yang memelas itu mengusik rasa kasihan Siboru Pareme. Dia mencari sepotong dahan untuk mencoba mengungkit batang pohon tersebut. Walaupun hanya sedikit terungkit, hal itu sudah cukup bagi sang harimau untuk melepaskan kaki belakangnya. Harimau itu dapat berdiri walaupun untuk itu binatang tersebut terpaksa berjalan tertatih-tatih (timpang). Binatang inilah yang dikenal sebagai Babiat si Telpang (Harimau Pincang) yang kemudian menjadi sahabat Siboru Pareme dalam kesendiriannya di tengah hutan.

Menurut versi yang ditulis Punguan Borbor, Harimau Pincang ini adalah harimau “jadi-jadian” yang juga merupakan isteri Saribu Raja dan dari binatang ini diperoleh pula seorang anak yang bernama Raja Galeman. Konon, binatang ini diutus oleh Saribu Raja untuk menemani Siboru Pareme dalam kesendiriannya di tengah hutan. Sementara menurut versi komponis Nahum Situmorang dalam lagu ciptaannya yang berjudul “Lontung si Sia Marina,” persahabatan antara harimau itu dan Siboru Pareme terjalin karena ada tulang yang tersangkut di kerongkongan sang harimau dan kemudian dicabut oleh Siboru Pareme.

Kita tidak perlu mempersoalkan mana di antara versi ini yang benar. Jelas, timbul satu ikatan persahabatan antara Harimau Pincang (Babiat si Telpang) tersebut dan Siboru Pareme. Di samping menjaga Siboru Pareme dari ancaman binatang buas yang lain, harimau itu juga banyak memberikan hasil buruannya kepada Siboru Pareme sehingga dia merasa aman dan tidak khawatir akan kekurangan bahan makanan. Begitu pula, setelah anaknya lahir, yang diberi nama Lontung (Ilontungon), harimau itu tidak kurang jasanya dalam menjaga ibu dan anak ini dari segala gangguan. Bahkan, setelah Ilontungan beranjak remaja, harimau inilah satu-satunya temannya bermain, layaknya Romulus dan Remus, pendiri Roma yang dibesarkan oleh serigala. Keberadaan harimau di tengah keluarga Siboru Pareme menyebabkan ketiga bersaudara Limbong, Sagala, dan Lauraja terlihat sedikit jeri. Inilah yang mengakibatkan pengucilan Siboru Pareme, yang pada awalnya hanya untuk sementara, berubah menjadi selamanya. Dengan melihat kenyataan bahwa anak yang dilahirkan itu tumbuh sehat dan tangkas, ketiganya pun takut bahwa anak tersebut akan melancarkan balas-dendam akibat perlakuan mereka terhadap ibunya. Karena itu, mereka pun marbulan (bersumpah) untuk kelak secara bersama-sama menghadapi keturunan Ilontungan. Tempat mereka berjanji ini disebut Sabulan (satu dalam perjanjian), yang sekarang menjadi tempat asal keturunan Lontung. Dari kisah inilah lahir pemeo: Dengke ni Sabulan, tu tonggi na, tu tabo na; si ose padan tu ripur na, tu mago na. Artinya, orang yang mengingkari janji akan hancur-lebur.

Hal itu tentu saja berbeda dari apa yang ditulis oleh Sutan Habiaran Siregar tentang bulan (sumpah) Siboru Pareme yang bertekad tidak akan pulang ke kampung-halamannya. Ternyata kemudian sumpah ini terlupakan karena Iborboran (anak Saribu Raja dari isterinya Nai Margiring Laut) dapat mempersatukan keluarga ini. Bahkan, menurut cerita, Iborboran bersama Ilontungon pernah membalaskan dendam ayahnya kepada Tunggul Nijuji karena orang ini pernah mempermalukan ayah mereka Saribu Raja.

Kebersamaan dalam melancarkan balas dendam itu terjadi setelah Saribu Raja kalah dalam bermain judi melawan Tunggul Nijuji. Karena uang Saribu Raja telah habis, yang tersisa hanyalah alis dan bulu mata. Sayangnya, nasib mujur juga tidak berpihak kepadanya. Alis dan bulu matanya dicabut satu persatu hingga licin. Dapat dibayangkan bagaimana Saribu Raja yang terkenal rupawan itu tampil tanpa bulu mata. Hal itu menimbulkan rasa malu yang tidak terhingga dalam dirinya. Cerita ini melegenda dengan judul “Utang ni Saribu Raja” (Hutang Saribu Raja).

Lalu, bagaimanakah terjadi cerita tentang perkawinan Siboru Pareme dengan anaknya sendiri? Memang benar bahwa Siboru Pareme kemudian kawin dengan anaknya Ilontungan, yang ditafsirkan oleh banyak orang terjadi semata-mata karena dorongan nafsu (hisap ni daging). Sedikit pun Siboru Pareme tidak pernah berniat untuk mengelabui anak kandungnya dengan menyatakan dirinya sebagai pariban atau boru ni tulang (saudara sepupu yang boleh dinikahi). Setelah anaknya remaja, Siboru Pareme berkali-kali menyuruh Ilontungan pergi ke tempat asal orang tuanya dengan maksud agar anaknya bergaul sebagaimana layaknya orang kebanyakan dan mudah-mudahan kemudian memperoleh jodoh di sana. Ilontungon pun menurutinya, tetapi ia selalu disisihkan dalam pergaulan.Ada tiga alasan mengapa Ilontungan disisihkan dalam pergaulan.

Pertama, dia dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan sedarah, sesuatu yang sangat tabu dalam masyarakat Batak. Kedua, Ilontungan lahir dan dibesarkan di hutan. Di samping ibunya, sahabat satu-satunya adalah harimau yang banyak memberi pelajaran kepadanya untuk menangkap binatang buruan. Ini menyebabkan perilakunya sangat berbeda dari manusia biasa. Ketiga dan yang paling tidak dapat diterima oleh Siboru Pareme adalah kata-kata yang melecehkan anaknya sebagai anak ni na latongon (putera wanita yang “kegatalan”). Latong adalah sejenis tumbuhan yang, apabila kena pada badan, akan menimbulkan rasa yang sangat gatal. Mereka menuduh Siboru Pareme telah membujuk saudara kandungnya untuk melakukan perbuatan yang tidak benar karena “gatal,” bukan karena kasih. Bahkan ditengarai, nama Ilontungon berasal dari kata latong tersebut.

Kalau pun akhirnya Siboru Pareme mengambil keputusan yang bertolak belakang dengan adat-kebiasaan manusia dengan menikahi anaknya sendiri, hal itu merupakan pemikiran yang logis. Pertimbangannya ialah karena anak tunggalnya tersebut telah dipelihara dengan taruhan nyawa. Apakah mungkin anaknya itu dibiarkan dalam kesendirian hingga mate punu (mati tanpa keturunan)? Sekali lagi, Siboru Pareme mengadu kepada Mulajadi Nabolon. Dia bertekad bahwa dirinya tidak akan membiarkan anaknya hidup sebatang kara dan mati tanpa meninggalkan keturunan, sekalipun  untuk itu harus dia bayar dengan harga yang sangat mahal.

Jalan pemikiran inilah yang mendorong Siboru Pareme untuk memperdaya anaknya dengan menyuruhnya pergi untuk menemui pariban-nya. “Wajahnya persis seperti wajahku,” demikian kata Siboru Pareme, seraya memberikan cincin yang dikenakannya kepada Ilontungon. “Apabila cincin ini masuk dengan pas ke dalam jarinya, itulah pariban-mu. Bawalah dia dan jadikanlah sebagai isterimu. Jangan kembali lagi ke kampung ini, karena saya pun akan pulang dan kembali ke rumah orang tuaku,” demikian kata Siboru Pareme kepada Lontung.

Semua tipu-daya yang direncanakan Siboru Pareme ternyata berhasil dan Ilontungon menikahi perempuan yang persis sama dengan yang digambarkan ibunya tersebut. Tampaknya, dia tidak tahu bahwa perempuan itu tidak lain adalah ibunya sendiri. Ia pun menikahinya dan dari perkawinan tersebut lahir tujuh anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak-anak laki-laki yang lahir tersebut, menurut tulisan Wasinton Hutagalung, secara berturut-turut adalah Situmorang, Sinaga Raja, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar dan kedua puteri tersebut adalah Siboru Amak Pandan dan Siboru Panggabean.

Perkembangan keturunan marga-marga Lontung yang begitu pesat tentu saja akan menimbulkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Lontung adalah hasil perkawinan sedarah. Anak sebagai hasil dari hubungan sedarah ini kawin pula dengan ibunya yang, menurut kaidah moral, merupakan sesuatu yang sangat tidak dapat diterima. Mungkinkah perkawinan di luar kaidah ini berkenan di hati Sang Pencipta? Namun, sebagaimana ternyata terjadi kemudian, Tuhan yang Mahakuasa memberkati perkawinan yang tidak lazim ini. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya baru: Apakah dosa yang dibuat oleh Siboru Pareme sebanding dengan dosa yang dibuat oleh lingkungannya terhadap dirinya? Dia hidup dalam kesendirian di tengah hutan dalam keadaan hamil dan melahirkan tanpa ada orang yang memberikan pertolongan. Selain itu, anak semata wayang yang dipeliharanya dari kecil hingga dewasa dikucilkan dari tengah pergaulan. Apakah Siboru Pareme akan membiarkan anak ini akhirnya mate punu? Hal ini telah mendorongnya   yang menurut ukuran kita sangat tidak patut.

6. Sumba (Raja Isumbaon)

Di atas telah banyak diutarakan cerita sekitar anak-anak Tatea Bulan, mulai dari Raja Uti, Saribu Raja, dan Siboru Pareme serta keturunan mereka. Juga sedikit telah disinggung mengenai Limbong, Sagala dan Lauraja. Masih ada anaknya yang lain, Nantinjo, yang konon mati bunuh diri. Menurut Mangaraja Salomo, anak ini adalah sangkar so anak  lahi, ulu balang parompuan, suatu istilah halus untuk seorang banci. Pada saat akan dikawinkan, karena takut rahasianya terbongkar, dia memilih untuk menerjunkan diri ke dalam danau. Dia memilih untuk bunuh diri dan menjadi hantu penunggu di Pulau Tao di Simanindo sekarang.

Lalu, bagaimanakah cerita tentang si anak kecil Sumba bersama ibundanya? Pada awalnya, Sumba dan ibunya juga tinggal di Sianjur Mula-mula. Sampai beranjak remaja, Sumba tinggal bersama saudara-saudaranya yang lain dari keturunan Guru Tatea Bulan. Hubungan Nai Sumbaon dengan isteri Tatea Bulan juga cukup akrab. Namun, ada juga rasa khawatir dalam diri ibu ini tentang masa depan anaknya yang semata wayang itu. Dia tetap merasa khawatir bahwa, apabila terjadi konflik di antara kedua keluarga ini, Sumba sebagai anak tunggal tentu tidak akan mampu menghadapi kelima saudaranya.

Hilangnya barang pusaka Raja Sori Mangaraja menyebabkan Nai Sumbaon berkesimpulan bahwa tempat tersebut sudah tidak aman lagi bagi anaknya. Dengan diam-diam dalam kegelapan malam, Nai Sumbaon membawa anaknya meninggalkan kampung Sianjur Mula-mula. Tidak seorang pun tahu ke mana ibu yang malang ini pergi. Ke mana pun dicari oleh para pengawal, Nai Sumbaon bersama anaknya tidak diketemukan dan mereka hilang-lenyap bagaikan ditelan bumi. Para pengawal mencarinya sampai ke wilayah timur. Karena upaya mereka sudah sia-sia, para pengawal tadi memutuskan untuk tidak pulang. Mereka akhirnya menetap di daerah timur dan bergabung dengan satu kelompok pelarian dari Kerajaan Haru yang ditumpas oleh pasukan ekspedisi Pamalayu. Mereka kemudian mendirikan suatu kerajaan di Dolok Silo dan keturunan mereka kemudian dikenal sebagai puak Simalungun (malungun berarti rindu, yang melukiskan kerinduan untuk bertemu dengan Isumbaon). Itulah pula sebabnya mengapa puak ini tetap memelihara hubungan dengan saudara-saudara mereka yang ada di Dolok Pusuk Buhit.

Marilah kita ikuti perjalanan Nai Sumbaon bersama anaknya. Rupanya, Nai Sumbaon mengambil jalur yang tidak biasa. Begitu keluar dari kampung Sianjur Mula-mula, dia pergi ke Siogung-ogung, lalu berjalan menuju tempat yang sekarang dikenal dengan nama Pangururan. Dari Pangururan, mereka pergi menuju suatu tempat yang dikenal dengan nama Sabulan. Di tempat ini, Isumbaon dikawinkan dengan seorang wanita setempat. Dari wanita ini lahir seorang anak yang diberi nama Sori Mangaraja, dengan mengambil nama kakeknya, dengan harapan agar anak itu dan keturunannya kelak akan tetap ingat pada leluhurnya. Kebiasaan memberi nama kakek kepada cucunya (mambuat goar) sampai sekarang masih berlaku dalam masyarakat Batak. Dalam tarombo Batak, nama Sori Mangaraja diberi gelar Tuan, begitu pula kelak kepada tiga anaknya diberi gelar : yang pertama bernama Ambat gelar Tuan Sorba Dijulu, yang kedua bernama Rasa gelar Tuan Sorba Dijae, dan yang ketiga bernama Suan gelar Tuan Sorba Dibona ( Banua).

Tempat ini kemudian bertambah ramai karena ternyata kemudian Ilontungon dan isterinya juga memilih tempat ini sebagai tempat mereka bermukim. Di tempat ini, mereka tinggal dengan aman, hidup bahagia, dan dari rahim isterinya lahir anak-anak yang tangkas dan rupawan. Akan tetapi, setelah keluarga ini beranak-pinak, muncul sesuatu yang tidak terduga. Suatu bencana alam, sebagai akibat turunnya hujan lebat selama berhar-hari, mengakibatkan banjir besar dan tanah longsor. Penghuni Sabulan lari untuk menyelamatkan diri, sebagian ke Urat, sebagian ke Harian dan sebagian lagi ke Pulau Sibandang. Bencana besar tersebut menyebabkan wilayah ini, yang semula penuh dengan air, makin meluas dan hanya tersisa sedikit daratan di Siogung-ogung. Tanah yang tersisa ini kemudian digali oleh Pemerintah Belanda dan diberi nama Tano Ponggol (tanah yang dipenggal) dan, sejak itu, wilayah ini dikelilingi air yang oleh pemerintah Belanda diberi nama Pulau Samosir dan air yang mengitarinya diberi nama Danau Toba. Kedua nama ini adalah pemberian Belanda.

  Sori Mangaraja sendiri pergi menuju Balige dan menetap di sana. Di tempat ini, setelah kawin, dia membuka perkampungan yang sekarang dikenal dengan nama Lumban Gorat. Walau  sudah merasa bahagia tinggal di

 sana, Sori Mangaraja selalu ingat dengan pesan orang tuanya untuk mencari barang pusaka leluhurnya yang hilang. Sebelum meninggal, Raja Isumbaon memberi pesan terakhir kepadanya, agar barang pusaka itu dicari sampai diketemukan, dengan pesan, “Hanya benda inilah yang dapat dijadikan bukti bahwa kalian adalah keturunan Raja Sori Mangaraja. Barang siapa pun yang menemukannya harus diakui sebagai raja

Pesan itulah yang mendorong Tuan Sori Mangarja pergi ke Sianjur Mula-mula dengan meninggalkan isterinya. Tujuan utamanya adalah untuk mencari barang pusaka leluhurnya. Namun, di tempat ini, dia kawin lagi dengan puteri setempat dari marga Sagala. Dari boru Sagala ini lahir anak yang bernama Ambat. Walaupun cukup lama bermukim di Dolok Pusuk Buhit, barang pusaka yang dicari itu tetap tidak diketemukan. Sori Mangaraja kemudian melanjutkan perjalanannya ke Uluan dengan tujuan yang sama. Di tempat ini, dia juga tinggal cukup lama dan berhasil lagi  mempersunting seorang puteri  yang memberinya seorang anak yang diberi nama Rasa. Setelah gagal dengan segala upayanya, akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke Balige, tempat isterinya yang pertama menunggu. Kedua anaknya dari dua isterinya yang terakhir ini dibesarkan di tempat keluarga masing-masing isterinya tersebut, Ambat di Pangururan, Samosir, dan Rasa di Uluan.

Pada suatu hari, sewaktu menanam pohon beringin, dia diberi kabar bahwa isterinya telah melahirkan seorang anak. Anak yang lahir ini diberi nama Suan, yang diambil dari kegiatan pada saat dia menanam pohon (suan berarti tanam). Jadi, ada tiga anak Tuan Sori Mangaraja. Anak pertama dari isteri kedua, Nai Ambaton, bernama Ambat. Anak kedua dari isteri ketiga, Nai Rasaon, bernama Rasa. Anak ketiga dari isteri pertama, Nai Suanon, bernama Suan.

Setelah dewasa, ketiganya dikumpulkan di Balige. Kepada ketiga anaknya, Tuan Sori Mangaraja tetap menekankan bahwa mereka adalah keturunan “raja” dan, untuk membuktikan hal itu, benda-benda pusaka tersebut harus dicari sampai dapat. Karena merasa sebagai seorang keturunan raja, Tuan Sori Mangaraja merasa dirinya berhak untuk mengangkat anak-anaknya sebagai yang “dipertuan” di wilayah mereka masing-masing. Anak pertama, Ambat, keturunan Nai Ambaton, diberi gelar Tuan Sorba Dijulu, dengan wilayah yang berpusat di Pangururan. Anak kedua, Rasa, keturunan Nai Rasaon, diberi gelar Tuan Sorba Dijae, dengan wilayah yang berpusat di Patane, Porsea. Anak ketiga, Suan, keturunan Nai Suanon, diberi gelar Tuan Sorba Dibona atau Tuan Sorba Dibanua di wilayah Balige.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.