Sadarsibarani’s Weblog

October 12, 2008

PUAK-PUAK SUKU BATAK

Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 2:37 am

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seluruh puak Batak mengaku dirinya sebagai keturunan Raja Batak. Berdasarkan arah penyebarannya, suku Batak kemudian terbagi menjadi beberapa puak. Puak yang pertama ialah puak Gayo yang secara khusus dibicarakan dalam bagian tersendiri dengan sub-judul “Batak 27.” Puak yang kedua ialah orang-orang yang bermukim di Dataran Tinggi Karo. Mereka kemudian terbelah menjadi dua puak, yaitu Puak Karo dan Puak Pakpak. Puak yang ketiga adalah orang-orang yang bermukim di Dolok Pusuk Buhit. Mereka kemudian terbagi menjadi tiga puak, yaitu Puak Toba, Puak Mandailing/ Angkola dan Puak Simalungun.

Tentu saja menarik dan perlu mendapat penelitian yang lebih mendalam buku Sejarah Lampung yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1977. Dalam buku itu dituliskan bahwa Suku Lampung adalah keturunan Ompu Silamponge yang meninggalkan Tanah Batak pada waktu gunung berapi meletus, awal-mula terjadinya Danau Toba. Menurut buku itu, Ompu Silamponge bersama beberapa orang berlayar dan terdampar di pantai Krui. Mereka kemudian mendaki Bukit Pasagih dan kemudian mereka berpisah di tempat itu, sebagian menuju Rejang dan Lebong dan Ompu Silamponge tetap tinggal di Lampung. Dialah yang menjadi leluhur orang Lampung sekarang.

Bahwa mereka adalah orang Batak dibuktikan dengan banyaknya tulisan kulit kayu yang sebagian masih disimpan dan dipelihara oleh banyak keluarga dan sebagian lagi disimpan di Museum Lampung. Aksaranya tampak mirip dengan aksara Batak dan banyak bercerita tentang silsilah keluarga. Walaupun hal di atas dapat dijadikan sebagai bukti nyata, para ahli sampai saat ini belum pernah memasukkan suku Lampung sebagai salah satu puak dalam rumpun suku Batak. Mereka tetap merupakan suku tersendiri, yang hubungannya dengan suku Batak masih sebatas suatu legenda yang dipercayai oleh banyak orang Lampung. Karena suku Lampung hingga saat ini belum pernah dimasukkan ke dalam puak suku Batak, hanya ada enam puak yang tergolong dalam suku Batak. Puak Alas dan Gayo termasuk di dalamnya. Berikut ini disajikan secara ringkas keberadaan puak-puak tersebut:

1. PUAK KARO

Puak Karo, berdasarkan wilayah yang menjadi tempat mereka bermukim, dikenal sebagai Karo Gunung dan Karo Dusun. Karo Gunung adalah mereka yang tinggal di Dataran Tinggi Karo dan wilayah sekitarnya, yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Karo. Karo Dusun adalah mereka yang merantau ke daerah Langkat dan Deli Serdang. Di tempat ini mereka beranak-pinak dan malah ada di antaranya yang diangkat sebagai kepala urung (kepala negeri/kepala kuria), seperti di Sunggal, Hamparan Perak, Sukapiring, Senembah dan Petumbak. Akan tetapi, karena mereka memeluk agama Islam dan memakai nama yang bernafas Islam banyak orang menganggap mereka adalah orang Melayu.

Puak Karo terikat dalam kelompok yang dikenal sebagai Merga Silima. Merga Silima¾yang menjadi kelompok yang mempersatukan seluruh Puak Karo¾terdiri atas marga Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring dan Perangin-angin. Seluruh marga yang ada di Tanah Karo, yang terdiri atas puluhan marga, dihimpun dalam kelompok yang disebut Merga Silima ini. Marga Silima adalah induk seluruh marga Karo. Lima marga berikut kemudian berkembang yang kemudian pecahan-pecahan marga ini menjadi marga yang berdiri sendiri. Namun, walau telah memisahkan diri masih banyak diantaranya yang keluar, masih tetap menggunakan marga induknya. Marga Silima tersebut ialah:

1. Merga KARO-KARO:

1. Guru Singa, 2. Kemit, 3. Ketaren, 4. Sinuhaji, 5. Sekali, 6. Samura, 7. Sinukaban, 8. Sinuraya, 9. Sinulingga, 10. Sinubulan, 11. Barus, 12. Bukit, 13. Kaban, 14. Kacaribu, 15. Sitepu, 16. Surbakti, 17. Torong, dan 18. Jung.

2. Merga GINTING:

1. Babo, 2. Jadibata, 3. Jawak, 4. Gurusinga, 5. Gurupatih, 6. Suka, 7. Ajartambun, 8. Beras, 9. Garamata, 10. Manik, 11. Munthe, 12. Pase, 13. Sugihen, dan 14. Capah.

3. Merga TARIGAN:

1. Tua, 2. Tambun, 3. Sibero, 4. Tambak, 5. Silangit, 6. Purba, 7. Gersang, 8. Gerneng, 9. Tegur, 10. Pekan, 11. Bondong, 12. Jampang.

4. Merga SEMBIRING:

1. Berahmana, 2. Bunuhaji, 3. Guru Kinayan, 4. Muham, 5. Pandebayang, 6. Pelawi, 7. Tekang, 8. Colia, 9. Depari, 10. Kembaren, 11. Meliala, 12. Pandia, 13. Sinulaki, 14. Sinupayung.

5. Merga PERANGIN-ANGIN:

1. Keliat, 2. Pinem, 3. Kaban, 4. Laksa, 5. Pencawan, 6. Namuhaji, 7. Penggarun, 8. Sebayang, 9. Singarimbun, 10. Sukatendel, 11. Bangun, 12. Benjerang, 13. Perbesi.

Dalam perkembangan selanjutnya, walau tergolong dalam satu marga induk diantara mereka sudah terjadi saling kawin-mengawini, yang dahulunya merupakan sesuatu yang terlarang, sepanjang mereka sudah menabalkan diri sebagai satu marga yang berdiri sendiri. Marga yang sudah menabalkan diri sebagai marga yang berdiri sendiri antara lain, Ketaren, Sinuhaji, Sinuraya, Barus, Sitepu, Surbakti, Torong, Munthe, Capah, Sibero, Silangit, Pelawi, Depari, Meliala, Pandia, Keliat, Pinem, Pencawan, Sebayang, Singarimbun dan Bangun.

2. PUAK PAKPAK

Puak Pakpak bermukim di wilayah Dairi. Hal ini menyebabkan puak ini sering juga disebut sebagai puak Dairi. Mereka hidup bertetangga dengan Puak Karo, Simalungun dan Toba. Kalau dibandingkan dengan ketiga tetangganya tersebut, mereka sedikit tertinggal. Hal ini dapat dimaklumi karena merekalah yang terakhir dapat disentuh peradaban Barat setelah puak Mandailing, puak Toba, puak Simalungun dan puak Karo. Ketertinggalan mereka lebih banyak terjadi karena puak ini banyak terlibat dalam upaya-upaya memerangi penjajah Belanda, baik dalam perang yang dilakukan oleh orang Aceh maupun oleh Raja Si Singamangaraja XII.

Dalam upaya memerangi penjajah Belanda, Raja Si Singamangaraja XII memilih tempat ini sebagai basis perjuangannya yang terakhir. Di daerah inilah riwayat perjuangan Raja Si Singamangaraja berlangsung paling lama. Satu legion yang sudah berpengalaman dalam perang hutan di Afrika ditugaskan untuk memburunya di tengah hutan yang lebat. Bahkan beliau mengakhiri perjuangan dan hidupnya di tempat ini ketika dia wafat pada tahun 1907, bersama dua orang puteranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi dan seorang puterinya Lopian. Sejak perlawanan mereka berakhir, wilayah ini resmi dimasukkan sebagai wilayah jajahan. Marga-marga yang kita kenal antara lain ialah Tumangger, Maha, Keloko, Kesugihen, Nalu, Padang Batanghari, Perbesi, Simalango, Nahampun, Ujung, Boang Manalu, Berutu, Padang, Solin, Sinamo, Cibero, Bako, Siketang, Angkat, Simanjorang, Sambo, Kabeakan dan Bancin.

3. PUAK SIMALUNGUN

Puak Simalungun pada umumnya adalah puak campuran penduduk asli dan pendatang dari Toba dan Tanah Karo, sehingga sulit menentukan mana sesungguhnya penduduk asli Simalungun. Berdasarakan kenyataan ini, Seminar Adat Simalungun yang diselenggarakan pada tahun 1964 menetapkan bahwa “suku Simalungun adalah orang yang mengakui ahap Simalungun, yakni orang yang berbahasa, beradat-istiadat dan berbudaya Simalungun.” Rumusan ini diterima karena mereka sadar akan keberadaan ke-bhinneka-an dan perlunya membina persatuan berdasarkan pepatah: Sin Raya, Sini Purba, Sin Dolog, Sini Panei, na i ja pe lang marubah asal ma na marholong ni atei. Artinya, dari mana pun seseorang datang, asalkan dengan tujuan dan itikad yang baik, dia dapat diterima dalam keluarga besar Simalungun.

Kata simalungun berasal dari gabungan beberapa patah kata: si, ma, dan lungun. Si adalah kata penunjuk dan ma adalah awalan dari kata lungun yang berarti “rindu.” Kalau digabungkan, kedua kata ini berarti “orang yang merasa rindu.” Kata simalungun sering dihubungkan dengan pasukan pengawal Tatea Bulan yang ditugaskan untuk mencari Sumba dan ibunya, yang menghilang dari kampung Sianjur Mula-mula. Mereka mencari ibu dan anak tersebut, tetapi ke mana pun mereka mencari keduanya- ibu dan anak- tidak pernah tampak dan tetap hilang bagaikan ditelan bumi. Karena tugasnya tidak terpenuhi, akhirnya mereka bergabung dengan sisa-sisa ekspedisi Pamalayu dan membentuk puak sendiri yang sekarang dikenal sebagai Puak Simalungun.

Namun, ada juga orang yang berpendapat bahwa kata simalungun berasal dari dua patah kata simou dan lungun. Kata simou berarti samar-samar dan kata lungun berarti sunyi dan lengang. Pengertian ini dihubungkan dengan keadaan wilayah ini yang dulunya dirasakan sunyi dan lengang sehingga sulit menentukan batas-batas wilayahnya.

Apabila kita telusuri marga-marga yang ada di Simalungun, memang semuanya terasa simou atau samar-samar. Marga-marga utama yang ada di Simalungun¾Damanik, Saragih, Purba dan Sinaga¾yang dianggap sebagai marga asli Simalungun, namun, kalau ditelusuri lebih jauh sampai kepada sub-sub marganya, akan ditemukan bahwa banyak di antaranya berasal dari marga pendatang dari Toba dan dari Tanah Karo.

Marga-marga utama di atas mempunyai sub-sub marga; marga Damanik kini terdiri atas Damanik Ambarita, Damanik Gurning, Damanik Bariba, Damanik Malau. Marga Purba terdiri atas Purba Tambak, Purba Bawang, Purba Girsang, Purba Dasuka, Purba Dagambir, Purba Sidadolok. Marga Sinaga terdiri atas Sinaga Dadihoyong, Sinaga Siallagan, Sinaga Sidasuhut, Sinaga Porti, Sinaga Sidabariba, Sinaga Sidaha Pintu, Sinaga Sidagelan. Marga Saragih terdiri atas Saragih Dajawak, Saragih Turnip, Saragih Damunte, Saragih Garingging, Saragih Dasalak, Saragih Sumbayak.

4. PUAK MANDAILING DAN ANGKOLA

Wilayah Mandailing membentang dengan begitu luas sehingga pemerintah penjajah memberinya nama Groot Mandailing (Mandailing Godang), atau Mandailing Raya. Penduduk di sekitar wilayah ini menamakan diri sebagai orang (puak) Mandailing. Bersebelahan dengan daerah ini, di Sipirok bermukim penduduk yang menamakan diri sebagai puak Angkola. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pembeda antara puak Angkola dan puak Mandailing, karena umumnya mereka mempunyai marga yang sama seperti Siregar, Nasution, Lubis atau Harahap.

Konon, penduduk di daerah ini menyebut dirinya sebagai orang Angkola karena keteguhannya pada aturan-aturan adat. Aturan-aturan adat dijalankan dengan begitu keras, misalnya dalam adat perkawinan. Perkawinan satu marga di Angkola dianggap tabu, berbeda dari wilayah tetangganya Mandailing. Di Mandailing, aturan-aturan seperti ini sudah banyak dilanggar. Di daerah ini, perkawinan lebih didasarkan menurut aturan agama, bukan menurut aturan adat, sehingga perkawinan satu marga, bukanlah sesuatu yang terlarang.

Jika dibandingkan dengan puak Batak yang lain, puak Mandailing jauh lebih dahulu maju. Hal ini dapat dimaklumi karena puak ini lebih awal merubah tata kehidupannya sebagai akibat masuknya Islam yang dibawa oleh kaum Paderi dari Minangkabau. Dan setelah itu, mereka pula yang mengundang pemerintah Belanda memasuki wilayah mereka untuk mengusir para “pidari” yang sudah melenceng jauh dari tujuan kedatangan mereka sebelumnya.Yang jelas persintuhan dengan kedua kaum ini membawa perubahan yang sangat besar dalam tata kehidupan masyarakat Mandailing. Perubahan yang menyangkut keyakinan dibawa oleh kaum Paderi dan perubahan dalam tata kehidupan dibawa oleh penjajah Belanda lewat pendidikan. Setelah melihat potensi yang ada dalam diri orang Mandailing, pemerintah penjajah banyak membuka sekolah di daerah ini. Sementara orang-orang Batak lain masih sibuk dengan alemu-alemu yang diwarisi dari para leluhur mereka, orang Mandailing sudah mempelajari ilmu dengan tekun. Bahkan, orang Batak pertama yang belajar ke Eropa misalnya, adalah orang Mandailing bernama Sati Sokondar bermarga Nasution, yang kemudian terkenal dengan nama Willem Iskandar.

Ada sesuatu yang menarik dalam diri anak kecil ini sehingga dia oleh Nyonya Godon (isteri seorang Controleur di Kotanopan), dibawa ke Negeri Belanda dan kemudian disekolahkan di sana. Di Belanda dia berganti nama menjadi Wilhelm Iskandar. Penggantian nama Sati Sokondar menjadi Wilhelm Iskandar adalah atas anugerah Prins Wilhelm yang menjadi raja Belanda pada waktu itu. Waktu beliau meninjau sekolah yang menjadi tempat Sati belajar, dia terheran-heran melihat kepandaian anak ini. Karena kepintarannya Prins Wilhelm berkenan memberi nama baru sesuai dengan namanya kepada Sati. Setamat dari negeri Belanda, dia dipercaya untuk memimpin Sekolah Guru (Kweekschool) yang pertama di Tano Bato. Guru-guru alumni Tano Bato begitu berperan dalam memajukan Tanah Batak Selatan, sehingga jauh melebihi saudara-saudaranya yang lain. Setelah periode kemerdekaan, di antara sejumlah sarjana putera Batak, sebagian besar berasal dari Tanah Batak Selatan.

5. PUAK GAYO DAN ALAS

Puak Gayo dan Alas bermukim di pedalaman Aceh yang sekarang dikenal sebagai Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Secara administratif, wilayah ini masuk dalam Daerah Istimewa Aceh, yang kini telah berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Karena umumnya mereka menganut agama Islam, banyak orang menggolongkan puak ini ke dalam suku Aceh, sama halnya dengan suku Nias yang digolongkan ke dalam suku Batak hanya karena kedua suku ini bermukim dalam satu wilayah Provinsi Sumatera Utara dan kebetulan mayoritas penduduknya menganut agama Kristen. Dr. Snouck Hurgronje sendiri, seorang acehkenner¾ahli tentang masalah-masalah Aceh¾mengatakan bahwa orang Alas dan juga Gayo adalah suku tersendiri, bukan Aceh dan juga bukan Batak. Sementara orang Gayo menyatakan dirinya adalah Batak Bebesan atau Batak 27.

Daerah mereka yang miskin dengan sumber daya alam dan masalah transportasi yang buruk dan sangat minim, menyebabkan wilayah mereka sangat ter-isolir. Hidup mereka sangat miskin bila dibandingkan dengan tetangga mereka (Aceh Besar), menyebabkan mereka mengejar ketertinggalan mereka lewat pendidikan. Hal ini mengakibatkan, menurut kualitas sumber daya manusianya, orang Gayo dan Alas secara persentase lebih maju daripada orang Aceh sendiri.

Untuk memecahkan keterisolasian daerah ini, suatu proyek raksasa yang dikenal sebagai proyek Ladia Galaska (singkatan dari Lautan Hindia, Gayo, Alas, dan Selat Malaka) kini sedang dikerjakan. Proyek ini dimulai dari Lautan Hindia di pantai Barat (Meulaboh) hingga Selat Malaka di pantai Timur (Peureulak), dengan membelah wilayah Gayo dan Alas melalui suatu jalan raya. Proyek ini menimbulkan banyak kontroversi. Para ahli lingkungan, merasa khawatir bahwa pembukaan wilayah ini akan mengakibatkan kerusakan terhadap ekosistem Gunung Leuser. Kekhawatiran utama ialah ruas antara Pinding dan Lokop, sepanjang 13 km, yang akan membelah Gunung Leuser. Apabila jalan raya di ruas ini tidak dipindahkan, dikhawatirkan Gunung Leuser yang sudah ditetapkan sebagai suaka marga satwa akan dirambah habis-habisan sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem. Proyek ini menjadi buah simalakama. Apabila tidak dilanjutkan, Gayo dan Alas akan tetap menjadi daerah yang terisolir. Karena itu, ada usul perubahan terhadap jalur pembuatan jalan raya ini, khususnya yang menyangkut daerah Pinding dan Lokop dengan cara mengalihkannya. Diharapkan, dengan pengalihan ruas jalan ini, Gunung Leuser dan sekitarnya, sebagai wilayah yang dilindungi dan mendapat bantuan dana dari World Wild Fund, akan terbebas dari pembalakan.

6. PUAK TOBA

Puak Toba bermukim di suatu wilayah di pinggir letusan gunung api Toba. Sebagai bekas letusan gunung api yang terbesar pernah ada di dunia, bagian besar wilayahnya terdiri dari batu-batu padas yang sulit diolah, berlainan misalnya dengan wilayah yang jauh dari letusan gunung tersebut menjadi tanah yang subur. Hanya sebagian kecil di antaranya dapat dijadikan sebagai areal persawahan tadah hujan, sebagian lagi adalah tanah yang dapat diolah untuk kebun ketela dan sayur dan tempat menggembalakan kerbau. Itulah sebabnya pekerjaan utama penduduk Puak Toba, di samping bertani, adalah memelihara ternak, seperti kerbau, sapi dan babi. Tanahnya yang tandus, menyebabkan penduduk negeri ini banyak yang miskin. Terbatasnya lahan yang dapat diolah untuk pertanian, menyebabkan banyak penduduk menjual tenaga (mencangkul dan memotong padi) ke wilayah subur disekitarnya (Mandailing dan Angkola). Hal ini menyebabkan disatu masa, orang-orang dari Toba, dianggap kedudukannya lebih rendah dari puak yang bermukim di wilayah tetangganya.

Setelah Nommensen masuk ke Tanah Batak Utara, keadaan menjadi terbalik. Kenyataan bahwa orang-orang yang mengenyam pendidikan memperoleh kehidupan yang lebih layak daripada orang-orang yang tidak berpendidikan, menyebakan orang-orang tua di daerah ini berlomba-lomba untuk menyekolahkan anaknya, karena lewat pendidikan mereka memperoleh kesempatan untuk mengisi banyak lowongan pekerjaan. Orang-orang tua dengan sekuat tenaga berupaya untuk menyekolahkan anaknya sehingga lahir pemeo hugogo pe mansari, arian nang botari, lao pasingkolahon gellengki. Gencarnya mereka merubah kehidupan lewat pendidikan, menyebabkan orang-orang yang berasal dari puak ini, tampil dengan sangat percaya diri, berbeda jauh pada waktu-waktu sebelumnya. Mereka merasa tidak perlu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bahkan lingkungannya yang seharusnya menyesuaikan diri dengan gaya hidupnya. Mereka sangat bangga dengan adat dan budayanya yang khas, yang membedakan mereka dengan orang-orang lain di sekitarnya. “Halak hita”, merupakan satu sebutan bagi mereka, sebagai pembeda dengan mereka yang berada diluar kelompoknya yang dianggap sebagai orang lain.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.