Sadarsibarani’s Weblog

October 17, 2008

PERANG ACEH

Filed under: Pemikiran — rajabatak2 @ 6:57 am
Tags: , ,

Dapat dikatakan bahwa perang antara Aceh dan Batak menjadi awal penyebaran suku Batak menjadi beberapa kelompok yang kemudian terbentuk menjadi  puak-puak tersendiri. Dari uraian berikut dapat dipastikan bahwa suku Batak semula bermukim di Barus. Sebagian di antaranya pernah ditempatkan sebagai pasukan di Singkil, Aceh. Namun, serangan Aceh memaksa kelompok ini untuk melarikan diri dari Singkil dan Barus. Mereka mencari tempat yang aman untuk menyelamatkan diri ke daerah-daerah di pedalaman. Karena tujuan untuk menyelamatkan diri, mereka menjadi terpecah belah dalam berbagai rombongan. Ada yang lari ke pedalaman hutan (pedalaman Aceh) ada  yang melarikan diri hingga dataran tinggi (Tanah Karo)   dan ada pula setelah tiba di sebuah dataran lalu turun ke sebuah jurang yang dalam.

Rombongan Pertama

Perang melawan Aceh sungguh merupakan suatu perang yang sangat tidak seimbang. Aceh maju ke medan perang dengan bantuan armada dan sejumlah pasukan dari Turki yang sudah terkenal keberaniannya. Kala itu, hampir seluruh negara Arab dan sebagian Afrika telah berada di bawah kaki Turki. Uji-coba kehebatan armada dan pasukan Turki ini pertama kali dilakukan waktu menyerang Singkil. Setelah membombardir Singkil dengan meriam, pasukan di daratkan. Setelah pasukan turun, seluruh bala tentara perang, langsung melakukan pembersihan.

Pasukan Sori Mangaraja yang ditempatkan di Singkil tidak dapat melakukan apa-apa. Mereka hanya bersenjatakan lembing dan golok. Dapat diduga, walaupun pasukan Batak melancarkan perlawanan dengan mati-matian, hampir seluruhnya mati terbunuh. Hanya sedikit di antaranya sempat menyelematkan diri. Sebagian melarikan diri ke tengah kegelapan hutan dan sebagian lagi melarikan diri dengan mengikuti jalur sungai, lalu memanjat gunung. Sisa-sisa pasukan inilah yang kemudian dikenal dengan orang Gayo dan Alas sekarang. Mereka inilah yang merupakan rombongan pertama suku Batak yang terbentuk.

Rombongan Kedua

Pertempuran di Barus pun berlangsung dengan sangat sengit. Perang ini dimulai dengan memborbardir pelabuhan Barus oleh pasukan Aceh hingga kota pelabuhan tersebut hancur berantakan. Pertempuran bersosoh pun            dimulai begitu pasukan penyerang melakukan pendaratan. Pedang melawan golok, dengan diselingi lemparan-lemparan tombak. Rakyat begitu ketakutan sehingga banyak di antaranya melarikan diri. Mereka terutama adalah para pedagang dan bangsawan India dan rakyat kebanyakan. Mereka melarikan diri dan bersembunyi di dalam hutan.

Setelah melihat kenyataan bahwa pasukan Raja Batak sudah takluk dan sebagian sudah ditawan, rakyat kebanyakan dan bangsawan Tamil tersebut menarik diri makin jauh ke pedalaman dengan menyusuri sungai-sungai hingga ke hulu dan memanjat tebing-tebing yang tinggi. Perjalanan makin dirasakan sulit karena bersama mereka turut sejumlah wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Mereka akhirnya tiba di suatu dataran yang sekarang dikenal dengan nama Dataran Tinggi Karo. Mereka inilah yang kemudian hari dikenal sebagai leluhur Puak Karo dan Puak Pakpak. Keturunan para bangsawan ini dikenal dengan marga Sembiring Brahmana, Sembiring Meliala dan Colia. Sebagai kenangan bahwa mereka pernah berdiam di Barus, salah satu kelompok marga di Karo juga menamakan diri sebagai marga Barus dan turunan para bangsawan India  memakai nama marga,  Sembiring Brahmana. Dalam hidup sehari-hari banyak kebiasaan Hindu kuno yang sampai sekarang masih di pegang oleh orang Karo, seperti mar pangir ku lau, satu kebiasaan Hindu membersihkan diri di sungai Gangga.

Rombongan Ketiga

Rombongan ketiga adalah cucu Raja Sori Mangaraja III yang bernama Sumba dan ibunya Nai Sumbaon. Dengan dikawal oleh Tatea Bulan bersama sejumlah pasukan, mereka berupaya untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan Aceh di Barus dengan melewati kegelapan hutan. Sang ibu dan anak kecil tersebut berada di atas kuda dan begitu pula Tatea Bulan diatas kuda yang lain. Bersama mereka turut pula dibawa barang-barang pusaka kerajaan, berupa satu keris piso gaja dompak, tombak sitonggo mual, mahkota (ikat kepala) sende huliman, ulos tumtuman sutora malam, dan tikar berlapis tujuh (kaomasan) sebagai tempat duduk raja. Mereka juga membawa sejumlah perbekalan.

Jalur yang mereka tempuh berbeda dari jalur yang ditempuh oleh rombongan kedua. Apabila rombongan pelarian yang kedua menyelamatkan diri dengan melewati Sungai Simpang Kiri, rombongan ketiga menjauh dari Barus ke pedalaman dengan melewati Sungai Simpang Kanan. Selepas melewati sungai ini, mereka kemudian pergi menuju Dolok Pinapan, lalu masuk ke hutan yang gelap. Para pengawal berjalan di depan untuk merambah jalan.

Setelah melalui perjalanan panjang, rombongan tersebut tiba di suatu dataran yang sekarang kita kenal dengan Tele. Disebuah dataran yang sedikit lapang, mereka pun berhenti. Setelah yakin bahwa mereka sudah berada     cukup jauh dari musuh, Tatea Bulan memerintahkan pasukan membongkar seluruh perbekalan. Mereka memutuskan untuk beristirahat guna     memulihkan tenaga karena, dalam perjalanan yang begitu jauh, baru kali ini mereka berhenti. Dalam istirahat tersebut, Tatea berpikir keras: Apakah    mereka harus melanjutkan perjalanan atau tinggal menetap di tempat itu?

 Sementara rombongan beristirahat, Tatea mengadakan peninjauan lapangan. Dia pun naik ke bukit dan dari atas dia melihat suatu hamparan air yang begitu indah. Dia teringat dengan Barus yang merupakan tempat      mereka bermukim sebelumnya. Bersama dua orang pengawalnya, mereka menuruni bukit yang terjal sampai akhirnya mereka tiba di pinggir sebuah danau. Dia melihat tempat tersebut masih kosong tanpa penghuni. Topografi wilayah ini sangat mendukung  dan aman untuk dihuni karena tidak ada      jalan untuk keluar atau masuk kecuali yang telah mereka lalui. Karenanya apabila ada pendatang baru, walaupun kemungkinannya sangat kecil, pasti dapat diketahui sedini mungkin. Di tempat ini juga ada hamparan tanah datar  di sebuah lembah, yang dapat diolah menjadi persawahan. Air mengalir dari puncak gunung tanpa habis-habisnya sehingga, apabila diolah, tanahnya akan menjadi lahan pertanian yang subur. Tentang persawahan ini, sering kita   dengar pameo: Juma ni Limbong na dua hali marporiama, artinya  sawah di Limbong begitu subur, sehingga dapat dua kali panen dalam satu musim tanam. Juga tempat ini terletak tidak begitu jauh dari perairan Danau Toba yang akan dapat menjadi sumber makanan nabati yang tiada putusnya.                Berdasarkan pertimbangan inilah Tatea akhirnya memutuskan untuk tinggal di tempat itu.

Tatea Bulan kembali ke tempat rombongan,  setelah hampir menjelang tengah malam. Rombongan sempat merasa khawatir,  sesuatu telah terjadi terhadap Tatea dan dua pengawalnya. Mereka kemudian mendengarkan hasil peninjauan Tatea dan keinginannya agar mereka pergi menuju tempat yang telah dia pilih sebagai tempat untuk bermukim. Pagi harinya, mereka pun berangkat. Mereka berjalan  hati-hati karena di sebelah  terdapat jurang-      jurang yang menganga. Setelah tiba di tempat yang dituju, Tatea berkata:   “Inilah akhir perjalanan kita. Di sinilah kita menetap untuk selamanya dan mendirikan perkampungan. Inilah asal-usul mengapa kampung itu diberi    nama Sianjur Mula-mula. Keturunan merekalah yang kemudian dikenal    sebagai Puak Toba.

Dan sejak mereka bermukim disana, inilah untuk pertama sekali geliat manusia ada disana sejak letusan gunung Api Toba,   jutaan  tahun yang lalu. Letusan gunung api, yang dikategorikan sebagai letusan gunung api terkuat dan terdahsyat di dunia, berkekuatan 8 skala VEI, sepuluh kali lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau yang hanya 7 skala VEI,  mengeluarkan    material mencapai 2.800 kilometer kubik; 2000 km kubik permukaan bumi yang terangkat dan 800 km kubik hancur jadi abu.  Diteliti oleh sebuah team dari 6 universitas dari 4 negara yaitu Univeristas Cambridge dan Universitas Readning dari Inggeris, Institut Smithsonian dari Amerika Serikat, Universitas Karnatak dari India, Universitas Queensland dan Universitas Wollongong dari Australia, sejauh mana pengaruh letusan gunung ini merubah iklim dunia. Dapat dimaklumi, jika  selama jutaan tahun gunung api ini tidak dihuni oleh manusia  dan para pelarian dari Barus inilah yang kemudian menjadi manusia pertama, yang menjadi penghuni di pinggir kawah bekas letusan gunung api ini. ( Lihat juga; NATIONAL GEOGRAPHICSPECIALDOOMSDAY VOLCANO).

Kembali pada para pelarian. Apabila tahun kejadian ini dihubungkan dengan keberadaan bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1511 dan juga dengan sundut (generasi) marga Limbong dan Sagala yang sekarang ada Sianjur Mula-mula, tidak salah apabila kehadiran orang Batak di sana baru berkisar lebih-kurang 500 tahun. Kelompok yang pertama kali bermukim di sana ialah Tatea Bulan bersama seorang ibu yang bernama Nai Sumbaon dengan anaknya yang masih kecil yang bernama Sumba. Mereka inilah yang kemudian menjadi leluhur marga-marga Batak Toba yang kemudian beroecah menjadi Batak Toba dan Batak Mandailing/ Angkola.

Create a free website or blog at WordPress.com.